Skip to main content

Informasi Lengkap Seputar Program Pengungkapan Sukarela (PMK 196 Tahun 2021)


Program Pengungkapan Sukarela (PPS) merupakan salah satu program pemerintah yang paling ditunggu-tunggu semenjak dicanangkannya dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada tanggal 29 Oktober 2021 lalu. Tata cara pelaksanaa PPS atau yang sering disebut dengan tax amnesty jilid II diatur dalam PMK 196 Tahun 2021 yang diundangkan pada tanggal 23 Desember 2021. Menurut PMK 196 Tahun 2021, PPS akan dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022.

Sesuai dengan yang selama ini diundangkan dalam UU HPP, terdapat 2 kebijakan yang berlaku untuk PPS dengan berbagai tarif yang berbeda. Kebijakan pertama terkait dengan pengungkapan harta bersih yang tidak/kurang diungkap dalam SPT Tahunan. 

Menurut Pasal 2 PMK 196 Tahun 2021, kebijakan pertama ditujukan bagi Wajib Pajak yang telah mendapatkan pengampunan pajak sesuai pada Undang-Undang Pengampunan Pajak tahun 2016 lalu. Wajib Pajak tersebut yang akan mengikuti PPS dapat mengungkan harta bersih yang kurang atau belum diungkapkan dalam SPT Tahunan sepanjang belum ditemukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Harta bersih merupakan nilai harta dikurangi dengan dengan nilai utang. Atas harta bersih tersebut akan dikenakan pajak penghasilan final yang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak (DPP) harta bersih dikalikan dengan tarif.

Pada kebijakan pertama, ditetapkan tiga tarif yang berbeda yaitu:

  1. 6% jika harta bersih yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah NKRI dialihkan dan diinvestasikan pada kegiatan usaha pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau diinvestasikan pada Surat Berharga Negara
  2. 8% jika harta bersih yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah NKRI dialihkan namun tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau diinvestasikan pada Surat Berharga Negara
  3. 11% jika harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI

Untuk kebijakan kedua terkait dengan pengungkapan harta bersih yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Orang Pribadi Tahun Pajak 2020. Sesuai dengan judulnya, kebijakan kedua ini ditujukan bagi WP OP yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  • Tidak sedang dilakukan pemeriksaan untuk Tahun Pajak 2016, 2017, 2018, 2019 dan/atau Tahun Pajak 2020.
  • Tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan untuk Tahun Pajak 2016, 2017, 2018, 2019 dan/atau Tahun Pajak 2020.
  • Tidak sedang dilakukan penyidikan atas tindak pidana di bidang perpajakan;
  • Tidak sedang dalam proses peradilan atas tindak pidana di bidang perpajakan; dan/atau
  • Tidak sedang menjalani hukuman pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan

Wajib Pajak orang pribadi yang mengungkapkan Harta bersih juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki NPWP
b. membayar Pajak Penghasilan yang bersifat final 
c. menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020
d. mencabut permohonan, dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan berikut ini dan belum diterbitkan surat keputusan:
  1. pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
  2. pengurangan atau penghapusan sanksi administratif;
  3. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
  4. pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar;
  5. keberatan;
  6. pembetulan;
  7. banding;
  8. gugatan; dan/atau
  9. peninjauan kembali,
Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi ketentuan dan persyaratan tersebut dapat mengungkapkan harta bersih yang:
a. diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2020
b. masih dimiliki pada tanggal 31 Desember 2020
c. belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020.
Ketika WP belum melaporkan SPT Tahunan Tahun Pajak 2020, maka WP diminta untuk menyampaikan terlebih dahulu SPT Tahunan Tahun Pajak 2020.

Atas harta bersih tersebut akan dikenakan pajak penghasilan final yang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak (DPP) harta bersih dikalikan dengan tarif. Pada kebijakan kedua, ditetapkan tiga tarif yang berbeda pula yaitu:

  1. 12% jika harta bersih yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah NKRI dialihkan dan diinvestasikan pada kegiatan usaha pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau diinvestasikan pada Surat Berharga Negara
  2. 14% jika harta bersih yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah NKRI dialihkan namun tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau diinvestasikan pada Surat Berharga Negara
  3. 18% jika harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI.
Secara singkat, tarif dan ketentuan tercantum dalam gambar berikut:


PMK 196 Tahun 2021 juga mengatur tentang tata cara pengungkapan harta bersih. Wajib Pajak dapat mengungkapkan harta bersih dengan cara menyampaikan SPPH secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak. Penyampaian SPPH dapat dilakukan pada tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022. 
SPPH yang disampaikan tersebut harus dilengkapi dengan:
  1. NTPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai bukti pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final;
  2. daftar rincian Harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dan/atau daftar rincian Harta bersih yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Tahun Pajak 2020;
  3. daftar Utang;
  4. pernyataan mengalihkan Harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, apabila Wajib Pajak bermaksud mengalihkan Harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI ke dalam wilayah NKRI;
  5. pernyataan menginvestasikan Harta bersih pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau Surat Berharga Negara,
  6. pernyataan mencabut permohonan dan daftar rincian permohonan yang dicabut, dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan tersebut dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan.
Ketentuan mengenai format dokumen SPPH, daftar rincian Harta bersih, daftar Utang, dan daftar rincian pencabutan permohonan, serta Surat Keterangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran PMK 196 Tahun 2021. Setelah melakukan penyampaian SPPH tersebut, Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak akan menerbitkan Surat Keterangan secara elektronik kepada Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja sejak SPPH disampaikan. 

Apabila terdapat kesalahan dalam penyampaian SPPH, penambahan atau pengurangan harta bersih maupun perubahan penggunaan tarif, Wajib Pajak boleh menyampaikan SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak. Kemudian KPP akan menerbitkan Surat Keterangan atas penyampaian SPHP kedua, ketiga dan seterusnya, di mana Surat Keterangan tersebut menggantikan Surat Keterangan yang terbit sebelumnya.

WP juga dapat mencabut SPPH yang telah disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Pencabutan SPPH dapat dilakukan selama periode 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022. Pencabutan SPPH  dilakukan dengan cara menyampaikan SPPH dengan mengisi kolom Harta, Utang, dan Harta bersih dengan nilai 0 (nol). Atas penyampaian SPPH, Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan secara elektronik kepada Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja sejak SPPH disampaikan.

Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagai akibat dicabutnya SPPH, Wajib Pajak dapat meminta pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang atau melakukan pemindahbukuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan Harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib mengalihkan Harta paling lambat tanggal 30 September 2022. Wajib Pajak yang mengungkapkan Harta bersih yang berada di wilayah NKRI dan/atau mengalihkan Harta bersih ke dalam wilayah NKRI, tidak dapat mengalihkan Harta bersih tersebut ke luar wilayah NKRI paling singkat selama 5 (lima) tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Keterangan.

Wajib Pajak yang menginvestasikan Harta bersih pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau Surat Berharga Negara paling singkat 5 (lima) tahun sejak diinvestasikan. Wajib Pajak dapat melakukan perpindahan investasi dengan ketentuan berikut: 
a. dilakukan setelah jangka waktu 2 (dua) tahun sejak:
  1. nominal dana yang tercantum dalam Surat Keterangan telah diinvestasikan seluruhnya; atau
  2. tanggal 30 September 2023, dalam hal sampai dengan tanggal 30 September 2023 Harta bersih hanya sebagian diinvestasikan;
b. dibatasi hanya 2 (dua) kali perpindahan selama jangka waktu investasi dengan maksimal 1 (satu) kali perpindahan dalam 1 (satu) tahun kalender; dan
c. perhitungan jangka waktu 5 (lima) tahun investasi tertangguh apabila terdapat jeda waktu antara pencairan investasi sebelumnya dan penempatan investasi berikutnya.

Sekian informasi yang dapat kami sampaikan terkait Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Informasi selangkapnya dan lampiran terkait SPPH dapat dilihat pada PMK 196 Tahun 2021. Pastikan kalian memanfaatkan program ini sebaik-baiknya dan jangan sampai ketinggalan yaa...

Comments

Popular posts from this blog

Cara Baru Perhitungan PPh 21 Mulai 1 Januari 2024

Tahun 2024, Tahun Baru, Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) 21 pun baru. Pada tanggal 27 Desember 2023 lalu, pemerintah secara resmi telah menetapkan PP No. 58 Tahun 2023 sebagai peraturan yang mengatur tarif baru dalam melakukan pemotongan PPh 21. Menurut Dirjen Pajak Suryo Utomo, penerapan tarif pemotongan pajak yang baru ini memberikan beberapa keuntungan, yakni para pemberi kerja tidak lagi merasakan kesulitan dalam menghitung PPh 21 karyawan dan meminimalisir terjadinya lebih bayar akibat kompleksitas penghitungan PPh 21 dengan metode yang lama.  Apakah perbedaan pemotongan PPh 21 tahun 2023 dan sebelumnya dengan yang baru saja diundangkan ini? Mari kita ulas satu per satu. Pada PP No. 58 Tahun 2023, telah disebutkan pada pasal 2 ayat 1 bahwa tarif pemotongan PPh 21 terdiri atas tarif berdasarkan Pasal 17 ayat 1 huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dan tarif efektif pemotongan PPh 21. Sedangkan pada tahun 2023 dan sebelum-sebelumnya, perhitungan PPh 21 hanya mengacu pada tarif

Surat Pemberitahuan (SPT)

Apa yang dimaksud dengan Surat Pemberitahuan (SPT)? Seperti yang pernah dibahas pada penjelasan sebelum ini, SPT adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban menurut peraturan perundang-undangan perpajakan. SPT terdiri atas : Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) SPT Masa ialah surat pemberitahuan untuk suatu masa pajak. Contohnya SPT PPN Masa Januari 2019, SPT PPh 21 Masa Februari 2019 dan sebagainya. Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) SPT Tahunan sesuai dengan namanya yakni suatu surat pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak. Contohnya SPT Badan 1771 Tahun 2019, SPT Orang Pribadi 1770SS dan sebagainya. Apa fungsi dan kegunaan SPT? Fungsi dan kegunaan SPT dibedakan menjadi 3 menurut subjeknya: Wajib Pajak PPh. Fungsi SPT disini sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yan