Tahun 2024, Tahun Baru, Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) 21 pun baru. Pada tanggal 27 Desember 2023 lalu, pemerintah secara resmi telah menetapkan PP No. 58 Tahun 2023 sebagai peraturan yang mengatur tarif baru dalam melakukan pemotongan PPh 21. Menurut Dirjen Pajak Suryo Utomo, penerapan tarif pemotongan pajak yang baru ini memberikan beberapa keuntungan, yakni para pemberi kerja tidak lagi merasakan kesulitan dalam menghitung PPh 21 karyawan dan meminimalisir terjadinya lebih bayar akibat kompleksitas penghitungan PPh 21 dengan metode yang lama.
Apakah perbedaan pemotongan PPh 21 tahun 2023 dan sebelumnya dengan yang baru saja diundangkan ini? Mari kita ulas satu per satu.
Pada PP No. 58 Tahun 2023, telah disebutkan pada pasal 2 ayat 1 bahwa tarif pemotongan PPh 21 terdiri atas tarif berdasarkan Pasal 17 ayat 1 huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dan tarif efektif pemotongan PPh 21. Sedangkan pada tahun 2023 dan sebelum-sebelumnya, perhitungan PPh 21 hanya mengacu pada tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan. Tarif efektif yang dimaksud terdiri atas tarif efektif bulanan dan tarif efektif harian. Tarif efektif bulanan dan harian tersebut berlaku untuk pemotongan PPh 21 bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, termasuk pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota tentara nasional Indonesia, anggota kepolisian negara Republik Indonesia, dan pensiunannya.
Kapan menggunakan tarif efektif bulanan dan kapan menggunakan tarif efektif harian?
Tarif efektif bulanan dikenakan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima. Sedangkan tarif efektif harian dikenakan atas penghasilan bruto secara mingguan, satuan, atau borongan yang diterapkan dengan menggunakan jumlah rata-rata penghasilan sehari dari rata-rata upah mingguan, satuan, atau borongan yang diterima. Contohnya, Tn A. menerima penghasilan dari PT. XYZ secara bulanan sebesar Rp5.000.000,00 maka Tn A. akan dikenakan tarif efektif bulanan atas penghasilan bruto bulanan yang diterimanya. Kemudian Tn. C bekerja untuk merawat tanaman PT. XYZ di mana penghasilannya dihitung harian sebesar Rp500.000,00 per hari, maka Tn C. akan dikenakan tarif efektif harian atas penghasilan bruto harian yang diterimanya.
Tarif efektif bulanan dibagi menjadi 3 kategori yang didasarkan pada status Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), yaitu:
- Kategori A: diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan dengan status PTKP tidak kawin tanpa tanggungan (TK/0), tidak kawin dengan jumlah tanggungan 1 orang (TK/1), atau kawin tanpa tanggungan (K/0).
- Kategori B: diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan dengan status PTKP tidak kawin dengan jumlah tanggungan 2 orang (TK/2), tidak kawin dengan jumlah tanggungan 3 orang (TK/3), kawin dengan jumlah tanggungan 1 orang (K/1), atau kawin dengan jumlah tanggungan 2 orang (K/2).
- Kategori C: diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan dengan status PTKP kawin dengan jumlah tanggungan 3 orang (K/3).
Setiap kategori memiliki jumlah lapisan penghasilan bruto dan tarif yang berbeda. Kategori A memiliki 44 lapisan penghasilan bruto dan tarif, kategori B memiliki 40 lapisan penghasilan bruto dan tarif, dan kategori C memiliki 41 lapisan penghasilan bruto dan tarif. Setiap lapisan dan tarif dari masing-masing kategori dapat dilihat pada Lampiran A, B dan C dari PP No. 58 Tahun 2023.
Berbeda dengan tarif efektif bulanan, pada tarif efektif harian hanya terdapat 1 kategori dengan 2 lapisan penghasilan bruto dan tarif, seperti yang tercantum dalam Lampiran D dari PP No. 58 Tahun 2023. Berikut kami sampaikan ringkasan lapisan dan tarif dari tarif efektif bulanan dan harian.
Lapisan Tarif Efektif Bulanan dan Harian PP 58 Tahun 2023 |
Dalam mempermudah pemahaman terkait penerapan PP 58 Tahun 2023 untuk pemotongan PPh 21, maka kami berikan contoh kasus:
Tuan R bekerja sebagai pegawai tetap pada perusahaan PT ABC. Selama tahun 2024, Tuan R memperoleh gaji sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per bulan dan membayar iuran pensiun sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per bulan. Tuan R berstatus menikah dan tidak memiliki tanggungan (Penghasilan Tidak Kena Pajak K/0). Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah sebagai berikut:
- Berdasarkan status PTKP (K/0) dan jumlah penghasilan bruto sebulan Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan R untuk masa pajak Januari 2024 sampai November 2024 dilakukan dengan menggunakan tarif efektif Kategori A yaitu dengan tarif sebesar 2% (dua persen).
- Besaran Pajak Penghasilan Pasal 21 per bulan yang dipotong oleh PT ABC atas penghasilan Tuan R untuk masa pajak Januari sampai November 2024 adalah sebesar Rp10.000.000,00 x 2% = Rp200.000,00.
Gaji Rp10.000.000,00 x 12 = Rp120.000.000,00
Pengurangan:
Iuran pensiun Rp100.000,00 x 12 = Rp1.200.000,00
Penghasilan neto setahun Rp112.800.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 21 setahun
= 5% x Rp54.300.000,00 = Rp2.715.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 21 bulan Desember 2024
= Rp2.715.000,00 - (Rp200.000,00 x 11) = Rp515.000,00
Jadi bagaimana menurut kalian? Apakah penerapan pemotongan PPh 21 yang baru ini lebih mempermudah perhitungan atau tidak?
- PP No. 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi.
- Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
- Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Comments
Post a Comment