Skip to main content

Poin Penting Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan



Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan telah disahkan menjadi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada tanggal 7 Oktober 2021. Tujuan dari dibentuknya UU HPP adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mendukung percepatan pemulihan ekonomi, mengoptimalkan penerimaan negara, mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, mereformasi administrasi, konsolidasi perpajakan, perluasan basis perpajakan serta meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Tentunya banyak dari kita yang penasaran dengan isi Undang-Undang HPP ini, pasalnya UU HPP ini mengubah dan menambahkan beberapa ketentuan perpajakan. Mari kita lihat poin-poin penting dalam UU HPP berikut ini:

  • Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

   Melalui UU HPP, pemerintah melakukan terobosan baru dengan mengintegrasikan basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan. Hal ini dilakukan untuk memperkuat reformasi administrasi perpajakan yang ada. Penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai pengganti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi akan semakin memudahkan Wajib Pajak orang pribadi dalam menjalankan hak dan melaksanakan kewajiban perpajakannya.

   UU HPP juga mengatur penurunan denda atau sanksi terkait keberatan pajak yang semula 50 persen menjadi 30 persen dari kewajiban pajaknya. Ketentuan berlaku untuk pengemplang pajak yang ditemukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan langsung membayar pajaknya. Sedangkan bagi wajib pajak yang melakukan banding, maka sanksi yang dikenakan turun menjadi sebesar 60 persen dari semula 100 persen. 


  • Ketentuan Pajak Penghasilan (PPh)

   Pada UU PPh No. 36 Tahun 2008, pemerintah menetapkan 4 lapisan penghasilan (bracket) orang pribadi yang akan dikenai tarif pajak penghasilan (PPh) dimana lapisan penghasilan orang pribadi yang dikenai tarif pajak penghasilan (PPh) terendah 5 persen adalah penghasilan 0 hingga Rp. 50.000.000,00. Namun pada UU HPP kali ini lapisan penghasilan orang pribadi yang dikenai tarif pajak penghasilan (PPh) terendah 5 persen dinaikkan menjadi Rp. 60.000.000,00, sedangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tetap yakni tetap Rp. 4.500.000,00 per bulan untuk wajib pajak orang pribadi lajang, serta Rp.4.500.000,00 per bulan kepada WP sudah kawin dan Rp.4.500.000,00 untuk setiap tanggungan maksimal 3 tanggungan per wajib pajak. Kenaikan batas lapisan pada tarif terendah ini dilakukan untuk meningkatkan keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah.



   Selain itu, pemerintah juga mengubah tarif dan menambah lapisan kelima untuk PPh orang pribadi sebesar 35 persen bagi penghasilan kena pajak di atas Rp.5 miliar. Perubahan-perubahan ini ditekankan untuk meningkatkan keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan menengah dan rendah, termasuk pengusaha UMKM orang pribadi maupun UMKM badan, dan bagi orang pribadi yang lebih mampu harus membayar pajak lebih besar.

   Pada UU HPP, pemerintah menetapkan tarif PPh Badan sebesar 22 persen untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya, sejalan dengan tren perpajakan global yang mulai menaikkan penerimaan dari PPh dengan tetap dapat menjaga iklim investasi.

   Melalui UU HPP, Pemerintah akan membebaskan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang memanfaatkan tarif PPh final sesuai PP 23 Tahun 2018 dengan penghasilan bruto tidak lebih dari Rp.500 juta per tahun. Semula menurut PP 23 Tahun 2018, Wajib Pajak dengan penghasilan bruto kurang dari Rp.4,8 M per tahun dikenakan PPh Final sebesar 0,5 persen.

    Yang turut menjadi perbincangan hangat dalam UU HPP yakni terkait penghasilan berupa natura. Sebelumnya dalam UU PPh No 36 Tahun 2008, imbalan kerja berupa natura bukan merupakan objek pajak, namun dalam UU HPP ditegaskan bahwa imbalan kerja berupa natura merupakan objek pajak. Sejalan dengan hal ini, biaya penggantian atau imbalan berupa yang dikeluarkan oleh pemberi kerja dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Namun, imbalan natura tetap dapat dikecualikan dari objek pajak jika, natura tersebut berupa makanan dan minuman bagi seluruh pegawai, natura yang disediakan di daerah tertentu, natura yang harus disediakan oleh pemberi kerja, natura yang bersumber dari APBN atau APBD, serta natura dengan jenis dan batasan tertentu. Hal ini akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah. Perubahan UU PPh ini akan berlaku mulai tahun pajak 2022.

  • Ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

   Melalui UU HPP, pemerintah mengatur perluasan basis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan melakukan pengurangan Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP) yang tidak dikenai PPN. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial dan beberapa jenis jasa lainnya akan diberikan fasilitas dibebaskan PPN.

    Selain itu pemerintah juga menetapkan tarif tunggal untuk PPN. Pemerintah sepakat untuk melakukan kenaikan tarif PPN secara bertahap, yaitu menjadi 11 persen mulai 1 April 2022 dan menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025. Selain itu, pemerintah juga akan menetapkan skema tarif PPN yang bersifat final untuk BKP/JKP pada sektor tertentu.


  • Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak

    Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty jilid II yang bernama Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak akan berlaku mulai 1 Januari 2022 hingga 6 bulan ke depan. Ada 2 kebijakan dalam program tax amnesty jilid II ini, yakni kebijakan I untuk pengungkapan harta tahun 2015 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan yang sudah mengikuti tax amnesty tahun 2016 dan kebijakan II untuk mengungkap harta perolehan tahun 2016-2020 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang sudah mengikuti tax amnesty maupun yang belum. Untuk masing-masing kebijakan akan dibagi dalam tiga kategori tarif PPh final yang berbeda. Peserta tax amnesty dapat memperoleh tarif yang lebih rendah  apabila sebagian besar hartanya diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi/energi terbarukan.



  • Pajak Karbon

  Pemerintah akan menerapkan pajak karbon yang tarifnya sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Pajak ini dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Subjek pajak karbon dalam hal ini yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu. Pajak karbon mulai berlaku pada 1 April 2022.


  • Ketentuan Mengenai Cukai

  UU HPP mempertegas ketentuan mengenai cukai. Pemerintah akan melakukan tindak pidana bagi pelanggar cukai. Pelanggaran meliputi pelanggaran perizinan, pengeluaran barang kena cukai, barang kena cukai tidak dikemas, barang kena cukai yang berasal dari tindak pidana dan jual beli pita cukai. Sanksi admisnistratif yang dikenakan terhadap pelanggaran cukai pada saat penelitian yaitu sebesar 3 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar, sedangkan sanksi administratif terhadap pelanggaran cukai saat adanya penyidikan adalah sebesar 4 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Baru Perhitungan PPh 21 Mulai 1 Januari 2024

Tahun 2024, Tahun Baru, Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) 21 pun baru. Pada tanggal 27 Desember 2023 lalu, pemerintah secara resmi telah menetapkan PP No. 58 Tahun 2023 sebagai peraturan yang mengatur tarif baru dalam melakukan pemotongan PPh 21. Menurut Dirjen Pajak Suryo Utomo, penerapan tarif pemotongan pajak yang baru ini memberikan beberapa keuntungan, yakni para pemberi kerja tidak lagi merasakan kesulitan dalam menghitung PPh 21 karyawan dan meminimalisir terjadinya lebih bayar akibat kompleksitas penghitungan PPh 21 dengan metode yang lama.  Apakah perbedaan pemotongan PPh 21 tahun 2023 dan sebelumnya dengan yang baru saja diundangkan ini? Mari kita ulas satu per satu. Pada PP No. 58 Tahun 2023, telah disebutkan pada pasal 2 ayat 1 bahwa tarif pemotongan PPh 21 terdiri atas tarif berdasarkan Pasal 17 ayat 1 huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dan tarif efektif pemotongan PPh 21. Sedangkan pada tahun 2023 dan sebelum-sebelumnya, perhitungan PPh 21 hanya mengacu pada tarif

Surat Pemberitahuan (SPT)

Apa yang dimaksud dengan Surat Pemberitahuan (SPT)? Seperti yang pernah dibahas pada penjelasan sebelum ini, SPT adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban menurut peraturan perundang-undangan perpajakan. SPT terdiri atas : Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) SPT Masa ialah surat pemberitahuan untuk suatu masa pajak. Contohnya SPT PPN Masa Januari 2019, SPT PPh 21 Masa Februari 2019 dan sebagainya. Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) SPT Tahunan sesuai dengan namanya yakni suatu surat pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak. Contohnya SPT Badan 1771 Tahun 2019, SPT Orang Pribadi 1770SS dan sebagainya. Apa fungsi dan kegunaan SPT? Fungsi dan kegunaan SPT dibedakan menjadi 3 menurut subjeknya: Wajib Pajak PPh. Fungsi SPT disini sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yan

Informasi Lengkap Seputar Program Pengungkapan Sukarela (PMK 196 Tahun 2021)

Program Pengungkapan Sukarela (PPS) merupakan salah satu program pemerintah yang paling ditunggu-tunggu semenjak dicanangkannya dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada tanggal 29 Oktober 2021 lalu. Tata cara pelaksanaa PPS atau yang sering disebut dengan  tax amnesty jilid II diatur dalam PMK 196 Tahun 2021 yang diundangkan pada tanggal 23 Desember 2021. Menurut PMK 196 Tahun 2021, PPS akan dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022. Sesuai dengan yang selama ini diundangkan dalam UU HPP, terdapat 2 kebijakan yang berlaku untuk PPS dengan berbagai tarif yang berbeda. Kebijakan pertama terkait dengan pengungkapan harta bersih yang tidak/kurang diungkap dalam SPT Tahunan.  Menurut Pasal 2 PMK 196 Tahun 2021, kebijakan pertama ditujukan bagi Wajib Pajak yang telah mendapatkan pengampunan pajak sesuai pada Undang-Undang Pengampunan Pajak tahun 2016 lalu. Wajib Pajak tersebut yang akan mengikuti PPS dapat mengungkan harta bersih yang kura